Selasa, 04 Oktober 2011

Kematian Yang Terindah



Hidup saya hancur. Kecelakaan mobil yang saya alami membuat kaki saya lumpuh. Cacat seumur hidup. Ya, itulah ‘vonis’ yang dijatuhkan dokter kepada saya. Memang kedua kaki saya tidak sampai diamputasi. Tapi setelah mendengar vonis tersebut buat apa memiliki kaki jika tidak bisa dipergunakan lagi?
Saya pasrah. Saya akan menjadi lelaki tua yang kesepian, duduk di atas kursi roda dan sepanjang hari merenung di depan jendela apartemen memandang anak-anak kecil bermain ditemani kedua orangtua mereka. Atau mengamati orang-orang yang sedang berjalan dan berlari dengan lincah. Oh! Betul-betul hidup yang membosankan.
Tunangan saya, Mary Ann setiap hari menghibur saya. Saya bersyukur memiliki kekasih seperti dia. Dia mengatakan tetap bersama saya meski saya cacat.
"Kamu mau hidup seperti ini?"
"Maksudmu?"
"Hidup bersama dengan lelaki cacat tentunya membosankan. Dan jika kita jadi menikah nanti kau akan terus menerus merawat saya seperti anak kecil. Bukankah orang cacat sangat tergantung dengan orang lain?"
"Tentu saja kita akan terus bersama. Kita tetap akan menikah." sahut Mary sambil membelai rambut saya. Air mata saya mengalir. Saya terharu. Kehadirannya membesarkan hati saya. Meski setiap malam saya berpikir, jangan-jangan Mary cuma mau menghibur saja. Atau jangan-jangan Mary cuma kasihan dan suatu saat nanti dia meninggalkan saya setelah sebelumnya meninggalkan surat. Surat berisi permintaan maaf dan di dalamnya ada sehelai cek, biaya sekedarnya untuk kehidupan saya.
Kalau boleh saya berargumentasi saya tak salah berpikiran demikian. Tunangan saya Mary adalah wanita yang pintar dan cantik. Bentuk tubuhnya begitu indah. Sebelum menjadi wartawan, pekerjaannya sekarang ia bahkan pernah menjadi model. Banyak lelaki yang tidak tertarik kepadanya, termasuk saya.
Suatu hari ketika musim gugur saya serasa mendapat hadiah lotere. Betapa tidak, Mary Ann terlebih dahulu menyatakan cintanya kepada saya. Wanita yang selama ini saya anggap cuma teman biasa saja di kantor dan kebetulan menjadi idaman setiap lelaki di kantor ternyata mencintai saya.
Katanya saya berbeda. Lho, apanya yang menarik, tanya saya heran. Katanya saya sederhana, dewasa, gesit, pintar, dan jujur. Itu yang membuat dia tertarik. Katanya saya tidak seperti lelaki yang pernah mengajaknya kencan.
"Pandangan-pandangan mereka tersirat hanya ingin mencumbui dan meniduri saya." ucap Mary. "Mereka berpikiran kotor. Mereka cuma mau tubuh saya." lanjutnya sambil meneguk sisa coke di gelas.
"Beda dengan kamu. Kamu selalu menolong saya tanpa pamrih. Kau ingat, berita yang saya buat dipuji-puji atasan karena kamu banyak membantu." lanjutnya.
"Akh, tapi itu kan hanya bantuan biasa saja. Bukankah kebetulan saya punya banyak daftar nama-nama nara sumber untuk tugasmu."
"Tapi kamu lain. Memang posisi di kantor mengharuskan kita bekerja sama. Kamu sabar melayani telepon saya malam-malam ketika waktunya orang tidur. Dulu saya merasa pertanyaan saya mungkin kedengarannya tolol untuk orang sepintar kamu. Kamu tak seperti lelaki lain yang ringan tangan tetapi seterusnya menggoda saya dan meminta saya macam-macam."
Jujur saya juga menyukainya. Bukankah hal yang wajar seorang pria mengagumi kecantikan wanita? Tetapi saya tahu diri. Saya merasa hanya lelaki biasa yang beruntung bekerja satu kantor dengannya. Mary sangat luwes dan cantik. Tentu saja lelaki yang cocok dengannya adalah lelaki gagah seperti yang terjadi dalam film-film dan novel-novel roman. Terus terang saya dulu cuma berani mengkhayalkan Mary Ann menjadi kekasih saya, tak lebih.
Berkali-kali saya cubit tangan saya. Saya tampar pipi saya, saya jambak rambut saya. Saya tahu ini cuma mimpi. Ternyata ini kenyataan. Mary Ann benar menyukai saya. Selanjutnya kami menjadi sepasang kekasih. Bahkan kami sepakat untuk bertunangan. Teman-teman kantor mengucapkan selamat kepada saya.
"You’re lucky man." ucap Fred, sahabat saya.
"Thank’s."
Tetapi itu dulu. Ketika saya masih gesit. Sekarang saya cacat. Hidup saya hanya melulu di atas kursi roda. Apakah Mary tetap mencintai saya? Bukankah ia sangat cantik dan menarik? Bukankah ia amat mudah mendapatkan lelaki yang diinginkannya? Pikiran-pikiran itu terus mengganggu saya. Saya berubah menjadi pencemburu. Saya selalu cemburu jika Mary berbicara dengan lelaki lain, bahkan kepada kakak saya sendiri, Tom jika membesuk saya di rumah sakit. Saya akui saya takut kehilangan Mary.
Suatu hari pikiran saya berubah. Saya relakan jika suatu saat Mary benar-benar meninggalkan saya. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan. Toh, dulu saya tidak berminat mengejarnya. Hidupnya tentu akan sia-sia menghabiskan waktu dengan lelaki cacat yang sepanjang hari duduk di kursi roda.
"Tolong buang jauh-jauh pikiran itu. Saya tidak akan meninggalkanmu."
"Kau tentunya malu punya suami cacat. Kau wartawan dan pengarang yang berhasil, peraih macam-macam hadiah dan penghargaan. Kau selalu jadi buah bibir. Kau publik figur. Sayang suaminya cacat..."
"Percayalah, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku sangat mencintaimu."
"Mary, masa-masa saya sudah lewat. Sekarang hidup saya pasti membosankanmu. Saya tak bisa menemanimu ke pesta, jalan-jalan, bahkan tidak bisa lagi berdansa denganmu. Saya sudah tidak berguna lagi."
"Jangan begitu. Aku masih mencintaimu dan kita akan menikah."
"Akh, kau tentunya berkata begitu karena kasihan. Selanjutnya kau tertarik dengan lelaki lain dan..."
"Sudah! Sudah! Kenapa kau tidak percaya?"
Saya diam.
"Saya akan selalu mendampingimu, sampai mati. Kita akan bersama selamanya."
***
Pekerjaan saya bertahun-tahun kata atasan saya mengagumkan. Saya tetap di sana bahkan naik pangkat sebagai redaktur sekaligus editor. Saya tidak harus selalu hadir di kantor. Saya diberi kepercayaan mengerjakan segala pekerjaan di apartemen saya. Saya juga diberikan anak buah yang ditugaskan khusus untuk membantu karena saya cacat dan tidak mungkin lagi ditugaskan ke luar negeri. Saya juga menggaji seorang pembantu sekaligus sopir yang siap membantu saya bepergian.
Saya senang sekali. Bekerja di tempat tinggal sendiri sungguh menyenangkan. Saya membuat novel dan cerita pendek yang semasa aktif dulu sebagai wartawan selalu tidak pernah selesai saya kerjakan. Akan tetapi sampai sekarang ini saya tetap tidak bisa menghilangkan keraguan saya terhadap Mary. Setiap pagi jika ia pamit ke kantor diam-diam saya berpikir ia sekaligus mengucapkan selamat berpisah secara tidak langsung. Setiap hari saya menyiapkan diri untuk berpisah dengannya. Meski selama ini saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun saya terus membiarkan prasangka itu di dalam otak saya. Saya siap kelak hidup sendiri tanpa Mary.
Saya juga maklum jika memang benar Mary menjalin cinta dengan pria lain. Dia berhak mendapatkannya. Setiap hari saya siapkan diri jika sangkaan saya benar. Suatu malam pikiran saya berubah lagi. Ternyata hati kecil saya tak rela Mary pergi. Saya teramat mencintainya. Saya tidak rela Mary akan pergi dari kehidupan saya.
Malam ini saya terus berpikir bagaimana caranya Mary tidak akan meninggalkan saya. Saya berpikir besok saya akan pergi ke Fess, membeli pistol sekaligus mengurus surat-suratnya. Saya akan menembaknya dan kemudian menembak kepala saya sendiri. Saya akan hidup bersama selamanya di alam baka. Tetapi setelah saya pikir-pikir kematian macam itu terlalu ekstrim. Saya bisa membangunkan seluruh penghuni apartemen. Tetangga-tetangga saya di sini kebanyakan wanita-wanita tua yang hidup menjanda. Apalagi mereka memiliki penyakit jantung yang teramat serius. Saya tak tega orang lain akan menanggung musibah. Masakan saya ingin hidup abadi tetapi orang lain juga ikut mati? Tidak adil. Bisa-bisa nanti di sana saya bakalan dicaci sebagai biang keladi kematian mereka!
Saya coret rencana membeli pistol di agenda saya. Saya harus pikirkan jalan lain. Saya berpikir akan membeli racun. Ya, ya. Saya akan meracuni istri saya. Tapi racun apa yang paling ampuh? Saya tidak paham obat-obatan. Yang saya ketahui paling-paling cuma racun tikus dan serangga. Baunya saja menyengat. Pasti rencana saya gagal. Bahkan ketika giliran saya menenggaknya saya sendiri pasti akan muntah karena tidak tahan baunya.
Racun memang jalan yang tepat. Tetapi racun apa? Racun apa yang tidak bau dan tidak menimbulkan bekas? Saya buka-buka buku alamat saya. Saya cari daftar nama-nama nomor telepon relasi, orang-orang yang pernah saya jadikan nara sumber dan responden saya. Tentunya yang berprofesi sebagai dokter atau bekerja di klinik, apotik atau laboratorium. Saya telepon mereka satu per satu. Ternyata semuanya sudah pindah. Wah, harus kemana lagi saya?
***
Setelah membaca novel Agatha Christie, hadiah ulangtahun saya ke-34 dari Fred saya mendapat ilham. Setelah dibaca saya pandangi sampul buku itu. Novel ini baru sempat sekarang saya baca. Keterlaluan, pikir saya. Masak hadiah yang diberikan dua tahun yang lalu baru sekarang saya baca? Saya tersenyum. Pasti Fred kesal jika saya cerita kalau novel hadiah darinya baru sempat saya baca sekarang. Teman saya ini paling rajin membelikan saya buku. Untung jika bertelepon Fred tak pernah menyinggungnya. Dia sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai dosen di London.
Saya simpan kembali novel itu ke dalam rak. Selanjutnya saya mencatat dalam agenda saya. Saya berpikir besok saya akan membeli sianida. Anak buah saya pasti bisa mendapatkannya. Kebetulan saya baru mengetahui Max, anak buah saya itu mempunyai sepupu yang bekerja sebagai kepala laboratorium klinik kesehatan. Tentunya ia bisa mengusahakan untuk mendapatkannya.
"Kau mengerti bagaimana rasa penasaran pengarang seperti saya. Masakan saya membuat cerita matinya seseorang dengan sianida tetapi tak mengetahui bagaimana bentuk sianida?" kata saya.
"Tapi bagaimana wawancara kita dengan Stephen Macmillan? Bukankah itu untuk bahan berita kita?" tanya Max.
"Ah, sudahlah. Tunda saja dulu. Lagipula kantor kita tak terlalu buru-buru membutuhkan wawancara itu. Saya kan teman baiknya. Saya tahu semua jadwal acaranya. Telepon dia, batalkan pertemuanmu. Mumpung saya lagi ada waktu menyelesaikan novel saya yang sudah dua tahun tertunda-tunda." kata saya berbohong.
***
Malam ini saya siapkan suasana romantis di apartemen saya. Chinese food, makanan kesukaan Mary sudah dipesan. Lilin di meja sudah saya nyalakan. Meja sudah disiapkan. Musik di ruang tengah juga saya pasang.
Tepat jam delapan malam istri saya pulang dari kantor. Ia begitu bahagia saya menyiapkan makan malam yang romantis. Kami berciuman. Bau parfumnya yang merangsang itu membuat saya semakin tidak ingin berpisah dengannya.
"Ini benar-benar kejutan." katanya.
"Ketahuilah, sudah lima tahun usia perkawinan kita dan kau masih mendampingi saya. Kita sudah terlalu lama tenggelam dalam kesibukan masing-masing sehingga tak sempat lagi melakukan hal seperti ini." kata saya.
Setelah makan saya tuang dua gelas anggur. Tentunya minuman tersebut sudah diberi sianida, racun yang menurut novelis Agatha Christie teramat bersih dan tidak meninggalkan bekas. Sehabis menenggak anggur kami asyik tertawa-tawa sambil mengenang masa pacaran dulu. Malam semakin larut. Kami mengantuk. Sudah saatnya tidur.
***
Keesokan paginya, entah saya berada di mana saya menyaksikan diri saya sendiri dan Mary sudah tak bernyawa di atas ranjang. Max, anak buah saya dan Billy, pembantu sekaligus sopir pribadi saya yang menemukan kami. Mereka panik. Selanjutnya apartemen saya penuh dengan polisi dan paramedis. Saya puas. Semuanya berjalan begitu indah, sesuai rencana. Saya juga menyaksikan Max menemukan lembaran naskah yang berserakan di meja kerja saya. Sebuah naskah cerpen Kematian Yang Terindah. Dibacanya sejenak cerpen itu. Saya berharap suatu saat Max mengirimkannya bersama naskah saya yang lain. Saya ingat pernah berjanji kepada sebuah penerbit buku yang sudah sekian lama menunggu selesainya naskah buku kumpulan cerpen saya untuk diterbitkan.

Karya : Donny Anggoro

Tidak ada komentar:
Write Comments