Tampilkan postingan dengan label Timnas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Timnas. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 September 2011

Alfred Riedl Lanjutkan Karir di Laos



Abey - Mantan pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl, akhirnya melanjutkan karir di Laos. Negara yang pernah ia tangani pada SEA Games 2009 di Laos.

Seharusnya Riedl masih menukangi Indonesia hingga tahun depan namun kontraknya diputus secara sepihak oleh PSSI dengan alasan adanya cacat kontrak. PSSI sendiri enggan membayar kompensasi sebesar Rp 1,6 miliar, seperti yang tertera pada kontrak.

Sementara Riedl mengurus haknya melalui FIFA, pelatih asal Austria itu melanjutkan karir kepelatihannya dengan kembali ke Laos. Di sana, Riedl akan menjabat sebagai direktur teknis terlebih dahulu karena saat ini Laos memiliki pelatih asal Australia. Baru kemudian ia menangani timnas U-23 Laos pada Januari mendatang.

"Saya akan menetap di Austria selama tiga hari. Kemudian, saya akan ke Laos pada bulan Oktober," ungkapnya.

"Saya akan menandatangani kontrak selama tiga tahun bersama Laos. Saya akan mulai bekerja sebagai seorang direktur teknis. Sebagai seorang direktur teknis, saya akan ikut mendampingin timnas U-23 Laos di ajang SEA Games November mendatang."

"Kemudian pada bulan Januari mendatang, saya baru akan melatih timnas U-23 dan timnas senior Laos," sambungnya.

Namun, Riedl juga menegaskan bahwa dirinya siap kembali menangani timnas ataupun melatih di tempat lain jika ada tawaran bagus menghampirinya selama masa kontraknya bersama Laos.

"Selama jangka waktu itu, apa saja bisa saja terjadi. Saya juga siap jika kembali dipercaya sebagai pelatih timnas," pungkasnya.

Jumat, 31 Desember 2010

Surat Untuk Firman Utina

Dalam suratnya, Ito memberi apresiasi terhadap puluhan ribu suporter yang antre tiket agar dapat menonton aksi Firman Utina dkk. Di balik keluh keringat para suporter, Ito menyoroti segelintir elit politik yang menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat.

Ito berharap, Firman melalui tendangan kakinya dapat menjadi simbol dari kehidupan masa depan anak-anak muda di Indonesia. "Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik," tulisnya.

Sekadar diketahui, E S Ito lahir pada 1981, di Magek, Kabupaten agam, Sumatera Barat. Nama E.S. Ito merupakan gabungan dari singkatan nama asli dan nama panggilannya. E.S. adalah singkatan Eddri Sumitra, sedangkan Ito adalah panggilan masa kecilnya.

Alumni SMA Taruna Nusantara Magelang dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini telah menerbitkan dua novel. Novel pertamanya "Negara Kelima" terbit tahun 2005. Dua tahun kemudian dia menulis novel keduanya yang cukup terkenal yakni "Rahasia Meede".

Berikut isi lengkap dari surat ES Ito:

Surat untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! [beritajatim.com]